Penganiayaan
atau kekerasan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) khususnya Tenaga
Kerja Wanita (TKW) yang bekerja di luar negeri sudah berulangkali
terjadi. Terakhir, kasus penganiayaan yang menimpa TKW, Sumiati, di Arab
Saudi. Hingga bibirnya digunting, Sadis. Namun, itulah kenyataan yang
harus diterima dari masih lemahnya pengawasan dan perlindungan negara
terhadap warga negaranya yang bekerja di luar negeri.
Kelemahan
penempatan khususnya TKW ke luar negeri selama ini, sebenarnya jauh
hari sudah harus terbaca oleh negara melalui sejumlah kasus kekerasan
yang terjadi sebelum terulang kembali pada diri Sumiati.
Jika
ada kepedulian negara, semestinya penempatan setiap tenaga kerja sudah
dapat dilindungi melalui perjanjian yang ketat dengan para pengguna
tenaga kerja. Paling tidak dalam perjanjian tersebut, ada diktum yang
memungkinkan negara – dalam hal ini bisa diwakili oleh perusahaan tenaga
kerja Indonesia, untuk setiap saat dapat mengontrol kondisi warga yang
dipekerjakan tersebut.
Dengan
begitu, paling tidak, ada jaminan setiap saat dapat dilakukan
komunikasi yang tidak memungkinkan terjadinya tindakan-tindakan tidak
manusiawi terhadap tenaga kerja kita di luar negeri.
Kasus-kasus
penganiayaan yang menimpa TKI di luar negeri selama ini, pantas juga
jika kemudian mengherankan banyak pihak. Masalahnya, sasaran penempatan
tenaga kerja umumnya merupakan negara yang memiliki hubungan diplomatik
dengan pemerintah Negara RI. Di Negara-negara tersebut ada kantor
Kedutaan Besar RI, yang nota-bene seharusnya selalu awas terhadap setiap warga negara Indonesia termasuk mereka yang berstatus sebagai tenaga kerja kontrakan.
Kasus
penganiayaan atau tindakan-tindakan yang tidak manusiawi khususnya yang
selama ini banyak menimpa TKW yang bekerja sebagai pembantu rumah
tangga di luar negeri, penyebabnya lantaran tidak adanya penetapan
spesifikasi pekerjaaan maupun batasan jam kerja mereka.
Kelemahan
seperti itu juga yang selama ini banyak menimpa tenaga pembantu rumah
tangga di dalam negeri. Banyak sekali kasus pekerja pembantu rumah
tangga di dalam negeri yang tidak dilaporkan. Selain tidak ada ketegasan
dalam pemberian upah yang tidak memenuhi standar upah kerja, mereka
banyak yang harus bekerja all out tanpa mengenal batasan waktu jam kerja. Padahal pembantu rumah tangga juga adalah manusia biasa, bukan robot.
Dengan
kondisi tanpa ada aturan atau perlindungan seperti itu, terbuka peluang
untuk selalu menyudutkan posisi tenaga kerja khususnya yang bekerja
sebagai pembantu rumah tangga. Mereka yang sudah bekerja dengan sepenuh
hati, dapat seenaknya dituduh oleh majikan sebagai pemalas, tak becus
bekerja tatkala mereka harus dipaksa bekerja pada waktu-waktu kondisi
fisik sudah harus istrahat.
Di
dalam negeri saja, mana ada aturan atau jaminan perlindungan yang
berkekuatan hukum terhadap tenaga kerja wanita khususnya pembantu rumah
tangga. Belum ada perlindungan negara terhadap profesi yang mereka pilih
sebagai pembantu rumah tangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar