Rabu, 07 September 2011

Nasib TKW Menyayat Hati

 
            Penganiayaan atau kekerasan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) khususnya Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang bekerja di luar negeri sudah berulangkali terjadi. Terakhir, kasus penganiayaan yang menimpa TKW, Sumiati, di Arab Saudi. Hingga bibirnya digunting, Sadis. Namun, itulah kenyataan yang harus diterima dari masih lemahnya pengawasan dan perlindungan negara terhadap warga negaranya yang bekerja di luar negeri.
            Kelemahan penempatan khususnya TKW ke luar negeri selama ini, sebenarnya jauh hari sudah harus terbaca oleh negara melalui sejumlah kasus kekerasan yang terjadi sebelum terulang kembali pada diri Sumiati.
Jika ada kepedulian negara, semestinya penempatan setiap tenaga kerja sudah dapat dilindungi melalui perjanjian yang ketat dengan para pengguna tenaga kerja. Paling tidak dalam perjanjian tersebut, ada diktum yang memungkinkan negara – dalam hal ini bisa diwakili oleh perusahaan tenaga kerja Indonesia, untuk setiap saat dapat mengontrol kondisi warga yang dipekerjakan tersebut.
Dengan begitu, paling tidak, ada jaminan setiap saat dapat dilakukan komunikasi yang tidak memungkinkan terjadinya tindakan-tindakan tidak manusiawi terhadap tenaga kerja kita di luar negeri.
            Kasus-kasus penganiayaan yang menimpa TKI di luar negeri selama ini, pantas juga jika kemudian mengherankan banyak pihak. Masalahnya, sasaran penempatan tenaga kerja umumnya merupakan negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan pemerintah Negara RI. Di Negara-negara tersebut ada kantor Kedutaan Besar RI, yang nota-bene seharusnya selalu awas terhadap setiap warga negara Indonesia termasuk mereka yang berstatus sebagai tenaga kerja kontrakan.
           Kasus penganiayaan atau tindakan-tindakan yang tidak manusiawi khususnya yang selama ini banyak menimpa TKW yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri, penyebabnya lantaran tidak adanya penetapan spesifikasi pekerjaaan maupun batasan jam kerja mereka.
           Kelemahan seperti itu juga yang selama ini banyak menimpa tenaga pembantu rumah tangga di dalam negeri. Banyak sekali kasus pekerja pembantu rumah tangga di dalam negeri yang tidak dilaporkan. Selain tidak ada ketegasan dalam pemberian upah yang tidak memenuhi standar upah kerja, mereka banyak yang harus bekerja all out tanpa mengenal batasan waktu jam kerja. Padahal pembantu rumah tangga juga adalah manusia biasa, bukan robot.
Dengan kondisi tanpa ada aturan atau perlindungan seperti itu, terbuka peluang untuk selalu menyudutkan posisi tenaga kerja khususnya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Mereka yang sudah bekerja dengan sepenuh hati, dapat seenaknya dituduh oleh majikan sebagai pemalas, tak becus bekerja tatkala mereka harus dipaksa bekerja pada waktu-waktu kondisi fisik sudah harus istrahat.
            Di dalam negeri saja, mana ada aturan atau jaminan perlindungan yang berkekuatan hukum terhadap tenaga kerja wanita khususnya pembantu rumah tangga. Belum ada perlindungan negara terhadap profesi yang mereka pilih sebagai pembantu rumah tangga.
        Rasanya hati tersayat-sayat jika negara tak memberi ‘Penghargaan Besar’ terhadap ‘Pahlawan Devisa’ yang kembali ke Tanah Air setelah bibirnya digunting.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar